Selasa, 29 November 2011

ANAK JALANAN


Bajunya compang camping. Tangannya hitam kena sinar mentari yang begitu panas siang itu. Ia terbaring di depan sebuah ruang ATM BCA. Wajahnya lusuh.
Matanya terpejam. Namun tangan kanannya sesekali menggenggam perut yang berada dibalik baju putih lusuh itu. Mulutnya meringis sambil sesekali mengatakan,"
Laper… Laper…."

Ku dekati anak yang mungkin berusia sekitar 7 tahun itu. Ku beri ia sebungkus roti yang baru saja aku beli di toko
kelontong samping ruang ATM.
Ia menatap roti di tangan kananku. Tapi ia tidak tertarik sepertinya. Aku heran, pikirku pun berkata, masa' sih anak ini tidak mau roti berisi coklat ini.
Rotinya sih memang berharga murah. Tapi kan aku masih punya 5 bungkus lagi dalam plastik hitam di tangan kiri ku.
Ku semakin mendekati anak lelaki itu. Begitu dekat. Hingga aku bisa melihat bola matanya yang ternyata berwarna coklat.
Ku sodorkan sebungkus roti yang ada di tangan kananku berikut lima roti lain di tangan kiriku.
Ia tidak menolak, tidak juga menerima. Dipandanginya saja roti yang ada di tanganku. Kemudian ia menatap wajahku. Pandangan kami pun beradu.
"Ayo ambil. Ini untukmu," kataku meyakinkan dirinya.
Tapi, ia hanya terdiam. Ia pun bangun dari posisinya berbaring. Kemudian ia duduk menyandar ke dinding ruang ATM itu.
"Ada apa
an?," tanyaku pada bocah yang akhirnya ku ketahui bernama Rizal itu.
Ia pun menjawab, "Berapa saya harus membayar roti-roti itu
?" Jawaban yang berupa pertanyaan. Pertanyaan yang menyontakkan hatiku. Pertanyaan yang membelalakkan mataku.
"Maksud kamu
?" tanyaku lagi.
"
Kalo sebungkus roti berharga Rp 1000. Jika ada lima roti, berarti saya harus bayar Rp 5000 dong," jawabnya. Jawaban yang semakin membuat hatiku bersontak kaget.
"Ini untukmu. Aku yang ngasih. Bukan untuk kamu beli," ujarku seraya menyodorkan kedua tanganku padanya.
"Saya memang anak jalanan. Tapi, saya bukan pengemis. Saya masih bisa bekerja dengan membersihkan sepatu," katanya seraya menunjukkan sebuah peti kecil berukuran 15 x 15 centimeter itu.
Aku tidak melihat peti itu awalnya. Karena peti itu terletak di belakang tubuh mungilnya. Jadi, mana ku tau kalau dia ternyata tukang semir sepatu.
"Siapapun kamu dan apapun kerjaanmu, aku
mao memberi kamu roti-roti ini," aku pun tak mau kalah untuk memberinya roti-roti itu.
"Tapi, kamu akan membebani aku. Aku tak punya uang untuk membayarnya. Aku juga tidak mau mengambilnya karena gratis," sekali lagi jawaban yang me
mbuatku tersentak.
Akhirnya, aku pun menyerah. Aku hargai prinsip anak jalanan itu. Tapi, aku tetap ingin roti-roti itu untuknya.
"Gini saja. Kamu ambil roti ini. Tapi, bayarannya kamu bersihkan sepatuku," akhirnya ku tegakan juga diri ini menerima prinsip keras anak jalanan itu.
"Ok
e tjoy..." anak itu setuju. Matanya berbinar. Ia pun meminaku untuk melepas sepatu hitam bucherri ku.
Ia pun membuka peti hidup yang ada di depannya. d
ikeluarkannya semir sepatu bermerek Kiwi. Dioleskannya pada sepatuku. Tangannya pun menari membersihkan sepatuku dengan sikat kecil berwarna hitam itu.
Dan, seketika, sepatuku mengkilap. Sebagai bayarannya, ku berikan roti-roti itu. Ia tersenyum. Diraihnya roti-roti itu.
Dikeluarkannya sebungkus roti dari plastik hitam. Roti tersebut diberikannya padaku. Aku menolak. Bagaimana mungkin aku mengambil barang yang telah aku berikan pada orang lain.
"Ambillah. Sebagai lambang persahabatan," katanya seraya mengulaskan senyum di sudut bibir munglinya.
Aku pun mengambil roti itu. Dan tersenyum. Senyum yang paling indah mungkin.
Anak itu berlari ke teman-temannya. Diberikannya roti itu pada teman-temannya. AKhirnya ia hanya punya sebungkus roti saja di tangannya.
Ia pun menyeberangi jalan, jalan di seberang posisiku. Ku layangkan pandang padanya. Setibanya di tepi jalan seberang itu, ia memalingkan wajahnya.
Ia tersenyum. Senyum yang sangat indah. Sangat indah. A
ku jadi terpesona pada senyum itu.
Ku lihat ia membuka roti yang kuberi itu. Di gigitnya
roti itu. Sementara matanya masih menatapku. Tak jauh jarak kami, sekitar lima meter saja.
Sebuah mobil sedan berwarna putih melintas di antara kami. Keterpesonaanku terganggu oleh mobil itu. Setelah mobil itu pergi, anak jalanan itu sudah tidak ada lagi.
A
ku mencari-cari. Ku celingak celingukkan kpalaku. Tapi kemana anak itu pergi. Bahkan suaranyapun tak ku dengarkan lagi.
Kemana kah ia
? Kemana kah juga teman-temannya? Aku pun menunduk. Ku tatap sebungkus roti yang ada di tanganku.
Keesokan harinya saat pulang kuliah, aku sengaja lewat jalan itu lagi, tetapi batinku berkata,“Kemana ya bocah tersebut, aku pengen lihat dia menyemir sepatu”.
Entah kenapa, aku jadi rindu pada anak jalanan itu.
Padahal baru sehari bertemu. Ku rindu pada senyumnya yang mempesonaku. Ku rindu pada mata coklatnya itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar